17 April 2011

Kontribusi dan Kaderisasi Struktural

Oleh : Cahyadi Tjakariawan
Apa makna menjadi pengurus organisasi dakwah bagi para kader ? Tentu sangat banyak ‎maknanya, namun saya mengajak anda melihat dari dua aspek ini saja : lahan kontribusi dan lahan ‎kaderisasi. Dua makna penting yang harus menjadi cara pandang kita dalam kehidupan ‎berstruktur atau berorganisasi dakwah.‎
Pertama adalah lahan kontribusi. Organisasi dakwah telah mendidik dan menyiapkan banyak ‎kader dengan beragam potensi dan keahlian. Semua potensi dan semua keahlian yang dimiliki ‎para kader sangat bermanfaat bagi organisasi dalam mengelola semua aktivitas dan programnya ‎untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai.
Dengan dilibatkannya para kader dalam struktur ‎kepengurusan, telah menjadi lahan berkontribusi yang nyata untuk mengoptimalkan segala ‎potensi yang dimiliki.‎
Ada potensi administrasi, ada potensi kepemimpinan, ada potensi manajerial, ada potensi loby, ‎ada potensi ekonomi, sosial, politik, pendidikan, kesehatan, hukum dan lain sebagainya. ‎Keseluruhan potensi tersebut diwadahi dalam bingkai struktur organisasi, menempatkan orang ‎yang tepat pada posisi yang tepat sesuai kemampuan, keahlian dan potensi yang dimiliki. Dengan ‎manajemen yang tepat, semua potensi diolah dalam sebuah orkestra kepengurusan yang harmonis, ‎sehingga menghasilkan simponi yang indah, teratur, berirama dan terarah.‎
Orkestra bisa kacau, atau menghasilkan lagu yang tidak enak didengar, sumbang dan tidak serasi, ‎karena ada bagian dari pemain orkestra yang tidak melaksanakan tugasnya dengan baik. Mengapa ‎tidak melaksanakan tugas dengan baik ? Bisa jadi karena tidak sesuai kemampuan dan ‎keahliannya. Ahli gitar yang diminta memainkan biola tentu tidak akan menghasilkan harmoni ‎yang tepat. Bisa jadi pula karena kualitas dan integritas pribadi yang bersangkutan, yang tidak ‎memiliki kemampuan untuk bekerja dalam tim, atau tidak memiliki obsesi serta cita-cita kemajuan ‎dan perbaikan. Dia tidak peduli kalau konser orkestra tersebut berantakan dan tidak sukses.‎
Dalam perspektif ini, menjadi pengurus organisasi dakwah di level apapun, di pusat, propinsi, ‎kabupaten/kota, kecamatan ataupun desa/kelurahan, menjadi lahan bagi kader untuk ‎mengkontribusikan waktu, tenaga, pemikiran dan semua potensi yang dimiliki bagi tercapainya ‎tujuan-tujuan organisasi dakwah. Keterlibatan dalam struktur organisasi menjadi sarana ‎tersalurkannya berbagai kemampuan dan keahlian kader, yang sesuai dengan dinamika internal ‎dan eksternal organisasi tersebut. Ini merupakan makna yang penting, dimana segala potensi ‎kader bisa tersalurkan dalam wahana dan sarana yang tepat untuk dikontribusikan bagi ‎pencapaian tujuan.‎
Pada sisi yang lain, organisasi dakwah dipenuhi oleh para kader yang memang memiliki kapasitas ‎yang memadai sehingga menyebabkan organisasi menjadi dinamis dan memiliki keunggulan ‎kompetitif. Pada akhirnya bertemulah antara lahan kontribusi kader dengan kebutuhan organisasi ‎dakwah yang dinamis. Potensi kader terkontribusikan secara optimal, pada saat yang sama ‎organisasi dakwah menjadi kuat dan unggul karena dikelola oleh para kader yang penuh potensi.‎
Namun jangan hanya memandang posisi kepengurusan hanya dari segi lahan kontribusi kader ‎saja, harus digenapkan cara pandang kita dengan memahami bahwa kepengurusan organisasi ‎dakwah adalah lahan kaderisasi.  Inilah makna kedua dari kepengurusan organisasi dakwah, dan ‎merupakan makna yang sangat penting bagi sebuah organisasi kader. Menjadi pengurus organisasi ‎adalah lahan melakukan kaderisasi, dimana setiap saat, setiap periode kepengurusan, kader ‎datang silih berganti mengisi pos-pos yang tepat bagi dirinya.‎
Di sisi ini terjadi sesuatu yang unik, karena kedua makna ini bisa dipandang sebagai sesuatu yang ‎sinergis, namun bisa juga dipandang sebagai sesuatu yang kadang bertubrukan kepentingan. ‎Dalam perspektif sinergis, kepengurusan dalam organisasi dakwah adalah lahan kontribusi bagi ‎potensi kader yang sekaligus menjadi lahan kaderisasi struktural. Namun dalam sisi yang ‎bersebelahan, kadang organisasi harus memilih beberapa personal kader saja untuk menempati ‎pos-pos kepengurusan, sementara kader jumlahnya sangat banyak yang tidak mungkin ‎tertampung semua dalam struktur kepengurusan. Tentu ini pilihan yang sulit.‎
Dalam setiap prosesi pergantian kepengurusan organisasi dakwah lewat mekanisme Musyawarah, ‎selalu ada suasana khas. Ada pengurus lama yang sudah berpengalaman dan bertambah ilmunya ‎karena telah melaksanakan amanah kepengurusan selama satu atau dua periode, namun ada ‎sangat banyak kader potensial yang siap menempati pos-pos kepengurusan, dengan menjadi ‎pengurus baru.‎
Para pengurus lama telah menjadi senior, yang karena memiliki pengalaman struktural pada ‎periode sebelumnya, menjadi bertambahlah ilmu, pengetahuan, kecerdasan, ketrampilan dan ‎kemampuannya dalam menjalankan amanah organisasi. Potensi mereka bertambah besar dan ‎sangat penting untuk dikontribusikan bagi organisasi dakwah. Namun, para senior harus pandai ‎menempatkan diri agar tidak terjebak dalam sebuah suasana status quo, dimana merasa mapan ‎dengan posisi struktural dalam organisasi dakwah sehingga tidak mau digeser atau diganti.‎
Jika kepengurusan jumud dan statis, tidak memberikan kesempatan kepada kader baru untuk ‎terlibat dalam struktur organisasi, akan menyebabkan kaderisasi mandeg. Kader-kader baru yang ‎terus bermunculan tidak mendapatkan kesempatan untuk mendapatkan pembelajaran dan ‎pengalaman berstruktur, pada saat yang bersamaan organisasi bisa mengalami kejumudan karena ‎diisi oleh wajah-wajah lama. Untuk itu, pengalaman berstruktur perlu dibuka seluas-luasnya bagi ‎kader-kader baru, agar terjadi dinamisasi dan percepatan kaderisasi.‎
Hal ini tentu saja tidak menghalangi bagi organisasi untuk tetap mempertahankan beberapa ‎personal lama di beberapa posisi yang dianggap penting dan perlu diisi oleh senior berdasarkan ‎pertimbangan strategis yang ada pada waktu itu. Ada tokoh-tokoh senior yang memang sangat ‎diperlukan untuk menjaga organisasi, namun perlu banyak kader baru yang harus segera ‎dimunculkan. Komposisi tua – muda atau senior – yunior ataua lama – baru menjadi penting ‎untuk menjaga agar organisasi menjadi seimbang dengan adanya kebijakan dan hikmah dari para ‎senior, namun tetap menggelorakan semangat kader-kader muda.‎
Pada konteks kaderisasi struktural seperti ini, ada banyak kesadaran besar yang harus dibangun di ‎hati dan benak semua kader.‎
Kesadaran pertama, bahwa kontribusi dakwah tidak selalu dan tidak harus dibangun dalam ‎wadah kepengurusan formal. Sangat banyak lahan kontribusi untuk menyumbangkan segala ‎potensi yang kita miliki di jalan dakwah. Menjadi pengurus adalah salah satu lahan kontribusi, ‎namun tidak mungkin semua kader tertampung dalam struktur kepengurusan formal. Struktur ‎organisasi dakwah selalu lebih sempit dibandingkan dengan jumlah dan potensi kader yang ‎dimiliki. Purna kepengurusan tidak berarti purna kontribusi bagi dakwah, karena kontribusi bisa ‎diberikan dalam berbagai bidang amal salih yang sangat luas.‎
Kesadaran kedua, bahwa pengalaman berstruktur dalam organisasi dakwah merupakan bagian ‎utuh dari proses tarbiyah (pembinaan dan pengkaderan). Oleh karena itu, para senior harus ‎memberikan tempat dan kesempatan yang luas bagi para kader muda untuk mengalami dan ‎merasakan pengalaman berstruktur tersebut. Pemunculan kader menjadi pengurus baru ‎merupakan sebuah akselerasi pergerakan dakwah, agar semakin banyak kader memiliki ‎kemampuan, ketrampilan dan pengalaman berstruktur. Dengan demikian, organisasi dakwah telah ‎menyiapkan aset yang besar bagi upaya membangun masa depannya.‎
Kesadaran ketiga, bahwa penempatan kader dalam struktur kepengurusan merupakan amanah ‎dakwah, bukan sebuah pemuliaan atau penghormatan. Artinya, jika ada pengurus baru ‎menggantikan pengurus lama, para pengurus baru ini tengah menerima amanah untuk ditunaikan ‎dengan sepenuh tanggung jawab dan dedikasi, sedangkan para pengurus lama yang tidak lagi ‎mendapatkan amanah kepengurusan bukanlah pihak yang dicampakkan. Kalau menjadi pengurus ‎dimaknai sebagai pemuliaan, maka tatkala tidak terpilih menjadi pengurus akan dimaknai sebagai ‎pembuangan, pencerabutan atau pencampakan potensi. Padahal sama sekali tidak seperti itu ‎maknanya.‎
Kesadaran keempat, tidak ada rumus pengistimewaan bagi para senior. Dalam organisasi dakwah, ‎senioritas tidak dimaknai dalam konteks pragmatis, misalnya diutamakan dalam penempatan ‎kepengurusan, atau didahulukan dalam penempatan di jabatan publik, diutamakan dalam ‎fasilitas, dan seterusnya. Kepemimpinan bukanlah proses yang terjadi secara “urut kacang”, ‎dimana setiap kader bisa menghitung kapan kesempatan menjadi pemimpin. Tidak seperti itu ‎rumusnya. Untuk menempati posisi kepemimpinan tidak selalu diambil dari orang yang paling ‎senior atau lebih senior, namun lebih kepada pertimbangan kemaslahatan dalam pengertian yang ‎luas. Hal ini penting dipahami, agar kader yang merasa senior tidak tersinggung ketika dirinya ‎tidak ditempatkan dalam posisi kepemimpinan di struktur organisasi.‎
Kesadaran kelima, bahwa pergantian kepengurusan adalah sebuah keniscayaan. Organisasi perlu ‎diisi berbagai potensi, perlu diregenerasi, perlu disegarkan dengan adanya pergantian. Proses ‎pergantian kepengurusan menandakan denyut kaderisasi berjalan dengan lancar. Tidak mungkin ‎selamanya kader menjadi pengurus organisasi, harus ada batas waktunya. Maka silih berganti ‎kader datang dan pergi mengisi pos-pos struktur organisasi, untuk berkontribusi, dan menjadi ‎lahan kaderisasi.‎
Kesadaran keenam, bahwa purna kepengurusan berarti memiliki kesempatan lebih luas untuk ‎aktualisasi potensi di tengah kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Setelah berkontribusi ‎melalui struktur organisasi dakwah, terbentuklah pendewasaan, pengalaman, kemampuan, ‎ketrampilan yang didapatkan selama masa kepengurusan berlangsung. Hal ini menjadi modal dan ‎bekal untuk membangun ketokohan sosial, membangun jejaring sosial, membangun kredibilitas ‎publik, untuk mengambil peran-peran kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan lebih lanjut.‎
Kesadaran ketujuh, bahwa tidak ada kamus pensiun dalam aktivitas dakwah. Periodisasi dalam ‎kepengurusan organisasi dakwah memiliki makna proses kaderisasi dan regenerasi yang lancar ‎dan teratur di kalangan kader dakwah. Setiap pengurus organisasi akan pensiun dari ‎kepengurusan, namun tidak ada kata pensiun dari aktivitas kebaikan. Dakwah adalah sebuah ‎dinamika yang berkesinambungan dan terus menerus sampai akhir zaman. Tak pernah ada ‎pensiunan aktivis, walaupun ada aktivis yang futur. Maka kendati tidak berada dalam barisan ‎kepengurusan, tidak berarti selesai berkontribusi.‎
Bagi kader dakwah, totalitas (tajarrud) artinya adalah memberikan semua potensi yang dimiliki ‎dalam rangka mencapai tujuan-tujuan dakwah. Dengan demikian, tidak terbatas pada amanah ‎kepengurusan formal. Dimanapun kader berada, dimanapun kader beraktivitas, melalui sarana ‎apapun kader berkarya, semua bisa dioptimalkan bagi kepentingan pencapaian tujuan dakwah. ‎Semua tetap terajut dalam kerja sistemik (amal jama’i), yang akan membuahkan hasil yang ‎sistemik pula.‎
Setelah rampung prosesi pergantian kepengurusan, kita ucapkan selamat bertugas dan ‎mengemban amanah bagi para kader yang mendapatkan peran struktural. Curahkan segala potensi ‎dan kemampuan anda dalam menunaikan amanah kepengurusan, dengan segenap kesungguhan ‎dan dedikasi, dengan segenap kecintaan dan pengurbanan. Optimalkan pembelajaran selama ‎mengemban amanah kepengurusan, sehingga purna kepengurusan nanti anda memiliki banyak ‎sekali ilmu, wawasan, pengetahuan, ketrampilan dan semakin bertambah potensi yang anda ‎miliki.‎
Bagi para kader yang telah purna masa khidmahnya dalam struktur kepengurusan formal, kita ‎ucapkan selamat atas keberhasilan memberikan kontribusi terbaik selama masa kepengurusan. ‎Anda telah mendapat pengalaman dan pembelajaran berstruktur yang sangat penting bagi ‎peningkatan kapasitas anda, dan sekarang anda telah memberikan kesempatan kepada kader-‎kader muda untuk mendapatkan pengalaman dan pembelajaran tersebut. Organisasi dakwah ini ‎adalah sebuah Universitas yang terus mencetak kader untuk semakin lengkap potensinya.‎
Selamat berkontribusi pada lahan-lahan amal yang baru, di luar struktur kepengurusan organisasi. ‎Ada sangat banyak lahan kontribusi menanti anda, ada sangat banyak kesempatan beramal di ‎jalan dakwah, ada sangat banyak peran yang bisa anda lakukan, tanpa harus berada dalam ‎struktur kepengurusan formal. Semua tetap dalam bingkai amal jama’i yang teratur rapi. Semua ‎tetap dalam satu koordinasi dan konsolidasi untuk mencapai mimpi-mimpi yang kita bangun ‎selama ini.‎
Itulah beberapa kesadaran besar yang harus kita kuatkan dalam kehidupan dakwah. Jangan ada ‎kader yang merasa dicampakkan, atau dilupakan, atau dibuang, hanya karena dirinya tidak ‎tertampung dalam jajaran kepengurusan. Jangan ada kader yang kecewa dan merasa terhina ‎hanya karena tidak masuk dalam struktur organisasi. Semua kader dakwah mengerti lahan-lahan ‎tempat berkontribusi. Semua kader dakwah memahami untuk tujuan apa terlibat dalam dakwah ‎ini. Teruslah bekerja, teruslah berkarya, hingga akhir usia. Menjadi apapun kita di organisasi ‎dakwah yang kita cintai, atau tidak menjadi apapun. Jangan pernah berhenti.‎
Fa idza faraghta fanshab, wa ila Rabbika farghab.‎
Yogyakarta, 7 Januari 2011‎

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Skull Belt Buckles