Sayap intelektual dan ulama dalam PKS harus jeli melihat jati diri sendiri untuk melangkah ke depan. Milad PKS kali ini merupakan momentum refleksi diri guna mengurangi pragmatisme dan bersatu. Bisakah?
PKS perlu mempertajam spektrum politiknya untuk mencapai kondisi sebagai parpol Islam yang berwibawa dan diperhitungkan. Tentu diperlukan berbagai persyaratan. Selain konsep-konsep kepartaian, kenegaraan dan keislaman, yang terintegrasi dan berkelanjutan, satu hal yang sangat penting bagi PKS adalah kepemimpinan sejati yang sesuai visi dan misi pembentukan parpol Islami ini.
Maju mundurnya PKS sebagai tergantung dari mekanisme kepemimpinan pada setiap level. Mulai dari level puncak manajemen, tingkat menengah, sampai manajemen tingkat terendah.
”PKS harus berani mengikis pragmatisme yang ugal-ugalan, demi kepentingan jangka panjang,'' kata Lukman Hakim MA, pengamat sosial dari PSIK Universitas Paramadina
Dalam level nasional, kepemimpinan PKS diperlukan untuk pembentukan karakter para kader yang handal, komit dan pro-NKRI guna mewujudkan negara yang adil dan makmur dalam pemerintahan yang demokratis di Indonesia.
PKS yang sedang dilanda badai internal dan eksternal karena berbagai masalah seperti konflik internal Yusuf Supendi-Hilmi Aminuddin, imbas kasus Arifinto, isu poligami dan korupsi, perlu membangun kembali rekayasa sosial politik untuk merevitalisasi PKS sebagai partai yang bersih, peduli dan profesional.
Dengan membentuk sebagai parpol Islam yang mumpuni, tentunya PKS membutuhkan kader yang mumpuni, baik dari aspek akhlak, ilmu pengetahuan dan teknologi, fisik, maupun psikisnya. PKS perlu belajar dari parol Islam lain yang terpecah dan surut atau nyaris lenyap seperti PPP, PBB dan PBR.
PKS memang tengah dilanda prahara internal karena ada tudingan skandal KKN yang diungkap eksponen partai itu yang merasa disingkirkan. Hal ini diduga bisa merusak pamor dan integritas PKS jika tak ada klarifikasi yang kuat karena menyangkut isu korupsi, suatu patologi sosial yang dibenci rakyat negeri ini.
Pengamat politik Burhanuddin Muhtadi membaca gugatan politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Yusuf Supendi terhadap para petinggi PKS sebagai cerminan adanya pertikaian antara dua faksi, yakni faksi ‘keadilan’ dan faksi ‘kesejahteraan’.
”Faksionalisme ini merupakan bom waktu di tubuh PKS. Karena makin lama, makin terlihat konflik faksionalisasi antara dua faksi, faksi sejahtera dan keadilan,” ujar Burhanuddin.
Langkah nekat Yusuf yang menggugat petinggi PKS ke Badan Kehormatan (BK) DPR RI menurut Burhanuddin, adalah puncak gunung es. Bukan tidak mungkin ada kegundahan yang tidak bisa dibendung lagi.
”Jadi, jika PKS tak hati-hati dan tak amanah, tinggal menunggu bom waktu saja,” tandasnya. Burhanuddin yang pernah menulis tesis soal PKS ini melihat kubu idealis makin lama makin terpinggirkan dalam pusaran arus kompetisi internal.
PKS bermula dari gerakan Tarbiyah yang dibangun dengan idealisme tingi. Tapi lama-lama terjadi transformasi politik, dan kubu yang membangun partai dari awal itu terpinggirkan serta mengalami disorientasi dari yang mereka idealkan.
Tantangan dalam Milad kali ini adalah bagaimana seluruh faksi, slagorde dan elite PKS menyatukan kembali kubu ‘kesejahteraan’ dan kubu 'keadilan' agar tak terjadi dominasi sepihak, secara setara, empati dan kolegial.
Caranya, PKS perlu mengikuti irama politik yang ada secara cermat, tanggap dan cerdas serta melakukan kompromi-kompromi internal yang adil terhadap banyak hal demi kepentingan ummat yang lebih krusial. Bisakah PKS melakukan hak kecil ini untuk mencapai hal yang lebih berarti? Selamat bermilad.(inilah.com)
0 komentar:
Posting Komentar