Oleh: Shohib Khoiri, Lc
Produktif, begitu banyak orang sering menyebatkan kepada sutradara muda bernama Hanung Bramantyo berkat karya-karyanya, terutama dalam dunia perfilman. Film Ayat-ayat Cinta mungkin film religius pertama garapannya. Setelah itu muncul film-film lainnya yang bertemakan agama, di antaranya adalah Perempuan Berkalung Sorban (PBS) yang tidak lepas kritikan tajam dari tokoh-tokoh agama karena dianggap mengandung unsur pelecehan terhadap lembaga pesantren.
Masih belum puas mendapat kecaman, terakhir (saat ini) yang sedang diputar di bioskop-bioskop di Indonesia ia membuat film tak kalah menyesatkan, berjudul “?" (baca Tanda Tanya). Film tersebut menggambarkan kehidupan masyarakat Indonesia yang berbeda-beda agama dalam wilayah yang berdekatan. Dalam ceritanya, Hanung berusaha mengajak penonton untuk menjunjung sikap toleransi antara sesama meskipun berbeda keyakinan, karena semua agama pasti mengajak kepada perdamaian.
Yang menarik untuk dibahas disini adalah, apakah konsep tolerasi yang digagas oleh Hanung merupakan solusi bagi masalah yang selama ini terjadi?, khususnya ketegangan yang terjadi antar umat beragama. Ataukah konsep tersebut justru menimbulkan masalah baru? Lalu bagaimana dengan konsep toleransi yang ada dalam agama-agama, khususnya agama Islam?.
Ada empat hal yang menjadi catatan serius bagi film tersebut. Pertama adalah cerita tentang murtadnya seorang wanita yang diperankan oleh Endhita. Endhita semula beragama Islam kemudian pindah menjadi pemeluk Kristen Katolik. Dalam cerita tersebut, Hanung berusaha menggiring penonton bahwa murtad (dalam hal ini keluar dari agama Islam) adalah hal yang tidak perlu dibesar-besarkan, seolah hal tersebut wajar karena setiap manusia berhak untuk memilih keyakinan masing-masing.
Hal ini tentu tidak bisa dibenarkan, karena dalam pandangan Islam murtad adalah dosa yang sangat besar. Memang Islam melarang memaksa orang lain untuk beragama Islam, akan tetapi ketika seseorang sudah masuk Islam dia memiliki konsekwensi, diantara konsekwensinya adalah larangan untuk keluar dari Islam. Untuk hal ini Islam memiliki aturan tersendiri, bahkan pelakunya menjadi halal darahnya, sesuai sabda Nabi yang menjelaskan bahwa ada tiga manusia yang halal darahnya, diantaranya adalah orang yang keluar dari jamaah atau agama.
Kedua adalah tasyabbuh atau menyerupai diri dengan kelompok/agama lain. Hal ini tampak pada sosok pemuda yang dipernakan oleh Agus Kucoro yang dalam film tersebut berperan sebagai seorang Muslim.
Ketika itu Endhita memintanya untuk berperan menjadi Yesus pada drama yang diselenggarakan dalam rangka peryaan hari Paskah. Agus berperan sebagai Yesus yang disiksa dan disalib di tiang gantungan lengkap dengan pakaiannya disertai beberapa wanita yang meratapi penderitaannya. Berperan dan menggunakan atribut yang merupakan pakaian agama lain adalah masuk dalam kategori tasyabbuh yang dilarang oleh Islam (Lihat: Iqthidha ash-Shirat al-Mustaqin, Ibnu Taimiyyah), bahkan ancamannya akan dianggap bagian dari mareka. Hal ini sebgaimana sabda Nabi: "Barang siapa menyerupai suatu kaum maka ia bagian dari mereka.” (HR: Abu Dawud).
Lebih ironisnya lagi hal tersebut (tasyabbuh) mendapat legitimasi pembolehan dari sosok ustadz yang dipernakan oleh David Chalik.
Ketiga adalah menyamakan semua tuhan. Hal ini nampak ketika seorang Romo yang dipernakan oleh Deddy Sutomo mengenalkan sifat Yesus kepada Jemaat Gereja Katolik dengan menggunakan nama-nama/sifat-sifat Allah (Asmaul Husna). Allah dalam pandangan Islam adalah Dzat yang suci. Ketika Dzat-Nya suci, maka sifat-sifat-Nya pun suci. Segala sifat-sifat mulia-Nya hanya untuk-Nya dan tidak boleh digunakan oleh siapa pun. Dalam pandangan Islam Yesus adalah nabi bukan Tuhan, sedangkan dalam pandangan Kristen Yesus adalah tuhan. Apakah mungkin sifat Tuhan yang diyakini oleh umat Islam disematkan pada tuhan yang diyakini oleh umat Kristen?..
Keempat adalah penyebaran paham pluralism, atau penyatuan agama-agama. Hal ini nampak ketika Endhita membacakan sebuah puisi dihadapan Agus Kuncoro di akhir-akhir cerita film tersebut. Endhita membacakan puisi yang berisikan bahwa semua agama meskipun berbeda-beda akan tetapi menuju tuhan yang satu. Jadi, meskipun manusia memiliki agama dan keyakinan berbeda, akan tetapi pada akhirnya akan bermuara pada jalan keselamatan. Hal ini tentunya pemahaman yang keliru. Alih-alih melahirkan sikap toleransi justru menimbulkan masalah baru. Pemahaman tersebut memaksa manusia untuk tidak yakin dengan agamanya, dan melarang meyakini bahwa agamanya adalah yang paling benar. Lalu di mana konsep iman dan kufur yang ada dalam Islam?
Sebetulnya tidak hanya Islam yang menolak konsep pluralisme, agama-agama lain pun menolaknya, yang demikian karena konsep tersebut melucuti hal prinsip yang ada pada agama.
Diantara agama yang menolak paham tersebit adalah Kristen. Hal ini nampak dengan dikeluarkannya dekrit oleh Paus Paulus II yang lebih dikenal dengan Domenus Jesus. Dari kalangan Protestan pun demikian, hal ini nampak dengan lahirnya buku karangan seorang pendeta Dr. Stevri Indra Lumintang yang berjudul ‘’Theologia Abu-Abu: Tantangan dan Ancaman Racun Pluralisme dalam Teologi Kristen Masa Kini”.
Tidak hanya Islam dan Kristen, Hindu pun menolak paham tersebut, hal ini nampak dengan terbitnya buku yang berjudul ”Semua Agama Tidak Sama”, terbitan Media Hindu tahun 2006. Buku yang berisi kumpulan tulisan sejumlah tokoh dan cendekiawan Hindu ini secara tajam mengupas dan mengritisi paham Pluralisme Agama yang biasanya dengan sederhana diungkapkan dengan ungkapan ‘’semua agama adalah sama’’. Buku ini diberi pengantar oleh Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), yang merupakan induk umat Hindu di Indonesia.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa paham pluralisme yang dikampanyekan oleh Hanung dalam filmnya merupakan paham yang menjadi musuh bersama bagi agama-agama, khususnya agama-agama yang ada di Indonesia. Toleransi beragama merupakan sikap terpuji yang harus dijunjung tinggi, akan tetapi tidak berarti harus mengorbankan keyakinan setiap pemeluk agama. Dalam pergaulan masyarakat kita tidak boleh membeda-bedakan antar agama, akan tetapi dalam hal-hal prinsip, terutama dalam ranah teologi ada batasan-batasan yang harus dijaga.
Jika sudah jelas persoalan ini dalam agama Islam dan bagi agama-agama lain, mengapa Hanung masih tetap membuat cerita yang hanya akan menyesatkan banyak orang? Lantas, apakalah layak ia disebut produktif, setelah sekian ulama, pakar hukum Islam telah berkali-kali menasehati kekeliruannya ini?
Mungkin jawaban yang tepat bukan produktif, tetapi bebal, sifat yang cocok disematkan pada sosok yang sukar mengerti dan tidak cepat menanggapi sesuatu. Jika tidak, seharusnya ia tak mengulangi kasusnya di di film Perempuan Berkalung Sorban (PBS) yang juga telah melahirkan kontroversi.
Penulis adalah peneliti Institut Pemikiran Islam dan Pembangunan Insan (PIMPIN) sumber ; hidayatullah.com
24 April 2011
“Tanda Tanya” dan Konsep Toleransi dalam Islam
Minggu, April 24, 2011
Tim Media
No comments
0 komentar:
Posting Komentar